Secara kebetulan saya diberi kesempatan mengunjungi Kantor
Besar Sekatariat Perhimpunan Indonesia Tionghoa INTI di
Jakarta.
Kesempatan yang tentunya saya terima dengan rasa syukur
dan bangga. Bukan saban hari orang mendapat ajakan Benny
G. Setiono Ketua INTI datang ke kantornya untuk menyaksikan
dari dekat kesibukan terkait dengan pekerjaan perkumpulan
masyarakat yang dipimpinannya. Apa lagi dijemput dari
tempat kediaman dan diantar pulang. Saya bahkan diberi
kesempatan ikut serta sebagai pendengar dalam arahan
pertemuan harian, daily briefing kepada beberapa trainer yang
menangani antara lain regu bagian olah raga sepak bola,
bulu tangkis, marching band, martial art, pengobatan TCM
dan sekumpulan pengacara hukum bagian legal aid. Nampak
perkumpulan photography society memberi ceramah kepada
para penggemar photography di pojok ruang duduk.
Suasana sangat meriah dan santai, bagaikan sekumpulan
keluarga dekat datang bersilaturami, memberi laporan
mengenai program bagian seksi yang mereka tangani.
Suasana ini juga dirasakan ketika Benny memberi briefing.
Sebagai Chairman, briefing dan arahan yang diberi sangat
bersahaja, menggunakan bahasa sehari hari, bagaikan
berbicara dengan keluarga atau teman dekat sedikitpun
tidak terasa tegang officious. Style dan corak berkomunikasi
mengingatkan orang kepada Mahathir Mohamad mantan Prime
Minister Malaysia; santai, comfortable menggunakan bahasa
yang digunakan rakyat umum sehari hari. Namun jangan
salah, arahannya sangat to the point, menukik, tyerkesan
apa saja yang dikatakan, sekalipun terdengar santai, tapi
sudah jauh digodok sebelumnya, maka maksud tujuannya
tegas tidak mengambang. Basis nada briefing kepada para
trainer selalu menganjurkan agar masing masing seksi dapat
berdikari dalam membeayai aktivitas, berusaha mencari
dana dan sponsor sendiri, jangan selalu bergantung pada
bantuan dari perhimpunan. Anjuran ini terasa sangat tepat
dan mendidik, agar anak anak muda generasi kedua terbiasa
berusaha membeayai program yang direncanakan, sekalipun
mereka boleh menggunakan panji INTI dalam usaha mencari
sponsor. Di sisi lain juga mendidik mereka memupuk nilai
entrepreneurship dan menjadi financially independent dalam
menjalani kehidupan nyata di kemudian hari disamping
menyebar luaskan semangat INTI, menanam rasa bangga,
sense of involvement terhadap kehidupan komunitas dimana
kita semua mempunyai andil.
“Jangan hanya bertadang pada bantuan kantor, lakukan latihan
sebaik mungkin, menjadikan sebuah band berstandard tinggi,
dapat kita sewakan ketika ada permintaan meramaikan acara
pembukaan atau keramaian lainnya. Banyak kesempatan
dapat diraih dalam menjalankan program kerja. Be creative,
reach for excellence.” Ujar Benny ketika memberi briefing
kepada sekumpulan anak anak muda marching band.
Seperti yang sudah banyak diketahui umum, INTI mengemban
misi anti diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa di
Indonesia, terlebih pula setelah terjadinya kerusuhan yang
bertalian dengan pembantaian orang orang Tionghoa
menjelang jatuhnya pemerintahan Order Baru pada tahun
1998. Tapi juga dengan kesadaran bahwa kesenjangan
ekonomi dan gaya hidup exclusive yang dibawa oleh
sebagian masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia
turut menjadi pokok masalah yang menimbulkan adanya
ketidak seimbangan, dan akhirnya bantu menyulut terjadinya
diskriminasi yang mendalam diantara masyarakat non Chinese.
Dengan adanya kesadaran ini, INTI sangat committed
mendirikan rumah rumah sekolah di pedalaman, menanam
benih pengetahuan dan pendidikan, memberi scholarship
kepada para pelajar dari keluarga tidak mampu demi
meningkat taraf kehidupan. INTI juga sangat peduli dengan
pelayanan kemanusiaan terlebih pula yang berhubungan
dengan bencana alam; memberi layanan medis dan keperluan
logistik lainnya ke daerah yang tertimpa bencana. Dan semua
ini dilakukan tanpa batas keturunan, ras dan agama.
Dalam berdialogue, juga dalam banyak tulisannya, Benny
selalu mengemukakan sekalipun berketurunan Tionghoa,
tapi dirinya adalah generasi ke delapan yang lahir, hidup
dan berbakti pada tanah air Indonesia sepanjang masa.
Dari segi manapun tidak dapat disangkal ia adalah orang
Indonesia, tidak kurang “aslinya” dibanding dengan yang
selama ini dikategorikan sebagai “asli”. Terhitung cukup banyak
orang keturunan Tionghoa di Indonesia yang mempunyai
latar sejarah hidup bersamaan dengannya. Maka ia sangat
welcome dihapuskannya kata kata “Warga Negara Indonesia
keturunan Tionghoa” dan digantikannya dengan “Warga
Negara Indonesia” pada surat surat official paper. Sekarang
yang tertera adalah WNI bagi semua warga Negara tanpa
terkecualian. “Secara official kita telah diakui sebagai
warganegara dengan hak dan tanggung jawab sama seperti
masyarakat mainstream lainnya. Maka kita juga perlu merubah
cara pikiran lama yang berorientasi Tiongkok. Karena itu saya
tidak sepandangan dengan gagasan mendirikan perhimpunan
berdasarkan ethnicity,” ujarnya sambil menatap tajam wajah
orang yang berdialogue dengannya, memancarkan pandangan
meyakinkan.
Ketika itu ada pertanyaan dalam benak, “Bagaimana dengan
Malaysia, disana terdapat Malaysian Chinese Association
(MCA), bersama dengan Malaysian Indian Congress
(MIC) keduanya berupa komponent dari Barisan Nasional
bersama dengan United Malays National Organisation
(UMNO) menduduki posisi coalition pimpinan Negara. Dan
kenyataannya, ketiga tiga partai berdasarkan ethnicity,
termasuk MCA yang dibentuk demi memperjuangkan
kepentingan masyarakat ethnic Tionghoa setempat.” Mungkin
ini bisa terjadi karena ethnic Tionghoa di Malaysia mencapai
sekitar 30% dari seluruh jumlah penduduk, angka yang
sangat signifikan, sedangkan di Indonesia tidak lebih dari
3%. Apakah angka berupa unsur terpenting dalam membuahi
suatu rumusan kehidupan dalam masyarakat berbilang bangsa
dan ethnicity? Seperti apa yang dikatakan “There’s strength
in number?” Ingin mendapat pencerahan, saya bersedia
mengajukan masalah itu kepada Benny, tapi rupanya ia
sedang sibuk berdialogue dengan yang lain, dan setelah
itu jam makan pun tiba. Dalam menikmati nasi putih wangi
dengan lauk ayam dan sambal goreng bersama dengan Benny
dan rekan rekannya, semua pertanyaan dalam benak saya
kesampingkan. Lain kali, pada lain kesempatan mungkin saya
akan mendapat pencerahan darinya.