Bangunan Padepokan di Petojo dengan filosofi Tujuh Raga 


Bangunan Padepokan di Petojo dengan filosofi Tujuh Raga 

dilaporkan: Setiawan Liu

Jakarta, 5 September 2021/Indonesia Media – Kilas balik dari alm. Yu Sheng-zhong atau yang akrab disapa Suhu Acong yang membangun ‘padepokan’ Sapta Ronggo di Jl. Petojo VIJ III, Jakarta Pusat yakni berbagai kegiatan sosialnya terutama untuk masyarakat kurang mampu terutama pada era tahun 1980 – 1990 an dan penitipan anak-anak terlantar. Bahkan, Sapta Ronggo juga tempat pembelajaran agama Buddha bagi murid-murid Suhu Acong. Sejak dibangun sekitar tahun 1966, dari yang awalnya hanya sepetak bangunan semi permanen, yakni dinding bilik dan atap rumbia menjadi ‘padepokan’ Sapta Ronggo. Filosofinya, Sapta artinya 7 (tujuh) dan Rangga adalah ‘raga’ sehingga menjadi ‘Tujuh Raga’. Angka ‘tujuh’ merupakan Bahasa Sanskerta dan wangsit dari Eyang Djoego. Manifestasi (angka) ‘tujuh’ pada arsitektur bangunan berupa tujuh mahkota atap khas Joglo, rumah tradisional Jawa. Struktur atap joglo juga masih sangat kokoh, sehingga kelihatan artistik interior dan eksteriornya. Padepokan Sapta Ronggo tetap kokoh berdiri dan terhimpit berbagai aktivitas bisnis dan perdagangan terutama Roxy Mas

Semua murid dan anak asuh diwajibkan bangun pagi dan ikut kebaktian atau chanting pagi, baca Paritta suci selama sekitar dua jam. Suhu dan murid-muridnya juga mengitari semua altar termasuk yang ada patung Buddha, patung Dewi Kwan Im, dewa Kwan Kong. Selain, para murid juga harus terus belajar meningkatkan pengetahuan agama Buddha. Sehingga berbagai kitab suci agama Buddha Mahayana tersedia untuk kegiatan belajar setiap hari. Sampai sekarang, koleksi kitab suci Mahayana masih tersimpan rapi di lemari Sapta Ronggo. “Suhu juga ceramah, dan semua murid dan anak asuh harus vegetarian di Wihara. Walaupun memang, masih ada yang nyolong-nyolong makan daging ayam, daging ikan di luar Wihara. Itu dilarang Suhu,” kata Hendra, salah satu anak asuh Suhu Acong.

Saat itu, ada 12 anak angkat Suhu, yang semuanya berlatar-belakang yatim piatu. Ada anak asuh yang diambil dari RS Sumber Waras, Jl, Kyai Tapa Grogol. Ada juga yang dititipkan di Sapta Ronggo, karena kedua orang tuanya tidak mampu secara ekonomi. “Saya dititipkan kepada Suhu karena orang tua nggak mampu pada saat itu. Saya lahir tahun 1984, dan dititipkan waktu berumur 6 tahun. Saya kan masih kecil, nggak bisa berontak. Saya sempat rutin baca Paritta waktu Suhu Acong masih ada,” kata Hendra.

Kondisi sekarang, Sapta Ronggo hampir tidak pernah lagi ada kebaktian ataupun persembahyangan. Karena anak-anak asuh yang lain juga punya kesibukan masing-masing. Sebagian besar juga tinggal di luar kota, seperti Bogor, Tangerang. Lokasi Sapta Ronggo hanya sekitar 200 meter dari komplek Ruko/ITC/apartment Roxy Mas dengan perputaran uang dalam jumlah besar setiap hari. Beberapa perusahaan besar seperti Multivision Plus (perusahaan perfilman didirikan oleh Raam Punjabi) berlokasi di Roxy Mas. Distribusi berbagai merek gadget, computer, aktivitas perbankan juga di Roxy Mas.  Asset Wihara yang sangat bernilai seperti patung Empat Wajah (Sie Mien Fo) impor dari Thailand juga masih berdiri pas depan pintu sebelah kanan bangunan Sapta Ronggo. Patung tersebut diimpor sekitar tahun 2010 yang lalu. Koleksi kitab suci agama Buddha Mahayana juga masih tersimpan rapi di lemari Sapta Ronggo. “Tapi para donator sudah tidak ada lagi. Kegiatan saya sekarang, hanya bersih-bersih Wihara. Biasanya umat datang sembahyang pada hari Kamis, tapi hanya sekitar 5 orang. Waktu masih ada Suhu, kami sampai tiga kali cabut hio, karena penuh. Setiap ada persembahyangan, parkiran mobil umat meluber sampai ke jalan besar. Para pedagang kembang bunga 5 rupa / kembang sesajen, pengemis juga memenuhi jalan Petojo VIJ III,” kata Hendra. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *